Kelahiran dan Masa Kecil AGH. Ambo Dalle

0
204

Kehijauan yang menghampar ditingkahi kicau burung bernyanyi, melukiskan kesuburan dan kedamaian. Itulah suasana yang tergambar di desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, sebuah kampung yang berada di pinggir danau Tempe, terletak sekitar 7 km dari kota Sengkang ibukota Kabupaten Wajo.

Di kampung nan permai itu, pada hari Selasa siang tahun 1900, lahir seorang bayi laki-laki dari pasangan yang berdarah bangsawan Bugis. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan Ibunya Puang Candara Dewi (Puang Cendaha).

Saat mengandung, konon Puang Cendaha bermimpi melihat cahaya yang keluar dari perutnya.

Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Ambo Dalle. Dalam bahasa Bugis, Ambo berarti bapak dan Dalle berarti rezeki. Jadi, Ambo Dalle berarti sumbernya rezeki. Mungkin mereka berharap bahwa dengan nama itu, putra semata wayangnya kelak akan mendatangkan rezeki yang melimpah.

Ketika memasuki sekolah agama, nama Ambo Dalle ditambahkan dengan nama Abdur Rahman.

Sebagai anak tunggal, kedua orang tua terutama ibunya sangat menyayangi, namun tidak memanjakannya. Hal itu terlihat dari ketatnya mereka mengawasi pendidikan Ambo Dalle.

Mula-mula dia belajar mengaji pada I Midi, bibinya sendiri. Tetapi hal itu hanya berlangsung selama lima belas hari. Karena kuatir kalau-kalau buah hatinya itu terpengaruh pergaulan anak-anak sebayanya yang lebih banyak bermain, apalagi ketika itu sang bunda sudah melihat kalau putranya memiliki tanda-tanda dan kelainan dari anak sebayanya, ibunya memutuskan untuk mengajari langsung di rumah sendiri sehingga lebih mudah mengawasinya.

Setamat mengaji, Ambo Dalle dimasukkan mengaji tajwid (massara baca) pada pengajian yang diasuh oleh Puang Caco, kakeknya sendiri yang kebetulan adalah Imam UjungE. Selain belajar, ia juga membantu kakeknya mengajari anak-anak lainnya.

Selanjutnya, Ambo Dalle melanjutkan pelajaran tajwidnya (baca pituE), menghafal Alquran, serta belajar Nahwu dan Sharaf pada H. Muhammad Ishaq, ulama setempat yang dikenal ahli dalam bidang ilmu tersebut, selama tiga bulan.

Usia tujuh tahun dia sudah mampu menghafal Alquran dengan baik. Sejak itulah ia populer di kalangan masyarakat Tancung dan sekitarnya (Wajo) dan banyaklah anak-anak yang berdatangan untuk belajar mengaji kepadanya.

Karena selalu merasa haus akan ilmu, sementara di kampungnya belum ada pendidikan formal, ia berangkat ke Sengkang yang berjarak 7 km dari kediamannya. Di kota ini ia memasuki sekolah Volk-School (sekolah desa 3 tahun) dan kursus bahasa Belanda di HIS (Hollands Inlands School), sebuah Sekolah Rendah berbahasa Belanda. Yang dapat diterima di sekolah tersebut adalah kaum bangsawan pribumi.

Berbeda dengan remaja seusianya yang mempunyai banyak waktu luang untuk digunakan menyalurkan gejolak jiwa remaja yang sedang mencari identitas, Ambo Dalle muda nyaris tak punya waktu untuk bersantai. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk belajar.

Kalaupun ada waktu luang yang tersisa, itu digunakan untuk berolah raga. Olah raga yang digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle dikenal sebagai pemain yang andal. Oleh teman-temannya, ia dijuluki si rusa karena memiliki nafas kuat dan lari yang kencang. Dalam kesebelasan, ia bisa menempati posisi mana saja. Baik posisi penyerang, gelandang, maupun pertahanan belakang. Selain itu, ia pun bisa memainkan sepak raga dengan gaya yang menawan. Tak heran kalau ia banyak dikagumi gadis-gadis pada masa itu.

Sementara itu, di negeri Wajo telah banyak ulama yang berasal dari Wajo dan belajar di Mekkah, kembali dari sana dan membuka pengajian di negerinya. Pelajaran yang diberikan meliputi Tafsir, Fiqhi, Nahwu dan Sharaf.

Pemerintah kerajaan Wajo pun (Arung Matoa dan Arung Enneng) sangat senang pada ulama. Karena itu, kerajaan sering kedatangan tamu dari Saudi Arabiyah, dan tinggal bersama selama beberapa waktu untuk memberikan pengajaran atau pengajian. Antara lain Syekh Mahmud Al-Jawad, Sayyid Abdullah Dahlan, dan Sayyid Hasan Al-Yamani (kakek Dr. Zaki Yamani, mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi).

Ambo Dalle tentu saja tidak melewatkan kesempatan baik itu, menimba ilmu dari ulama-ulama tersebut dengan mengikuti pengajian mereka yang diberikan dengan cara halaqah (duduk bersila).

Rupanya, ia tidak merasa puas dengan mempelajari bidang agama saja. Maka, ia pun meninggalkan tanah Wajo menuju kota Makassar dan belajar pada sekolah guru yang dilaksanakan oleh Syarikat Islam (SI).

Setelah tamat, ia kembali ke Sengkang untuk melanjutkan memperdalam ilmu agamanya.

Tahun 1928, Haji Muhammad Asad Bin Abd. Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis yang berasal dari Wajo dan lahir di Mekkah tahun 1907, kembali ke tanah air dalam usia 21 tahun. Beliau hafal Alquran pada usia 14 tahun.

Ia lalu membuka pengajian di kota Sengkang yang dilaksanakan di mesjid dan di rumahnya sendiri. Dalam memberikan pengajian, beliau menggunakan bahasa Bugis dengan fasih sebagai bahasa pengantar, meskipun beliau sendiri lahir dan dibesarkan di Mekkah. Hal itu karena bahasa Bugis sebagai bahasa ibu tetap dipelihara dan digunakan dalam lingkungan rumahnya.