AGH. As’ad, MAI dan AGH. Ambo Dalle

0
151

Suatu ketika, Haji Asad (Anregurutta Sade) mengunjungi tempat Ambo Dalle memberikan pengajian Alquran. Santrinya cukup banyak.

Saat itu, selain mengajar mengaji, Ambo Dalle juga telah diangkat sebagai juru tulis pembantu pada kerajaan bawahan (Sullewatang) Tancung. Ini karena ia mempunyai kelebihan diantara kelebihan lainnya, yakni kemahiran dan kecepatan tangan kirinya menulis indah sama dengan tangan kanannya.

Melihat Ambo Dalle, Anregurutta Asad mempunyai firasat bahwa orang ini bakal menjadi ulama besar. Ia lantas mengajaknya bergabung dalam pengajiannya, hal mana ternyata dipenuhi oleh Ambo Dalle.

Sejak itu, ia mengikuti pengajian Anregurutta Asad dengan tekun. Rupanya, beliau sering mengamati secara diam-diam santrinya yang satu ini. Dalam penglihatannya, Ambo Dalle adalah adalah murid yang cerdas.

Suatu ketika, diadakan ujian secara lisan dengan menanyakan berbagai pelajaran yang pernah dipelajari. Ternyata, jawaban Ambo Dalle lah yang dinilai paling benar dan tepat. Ia mampu menjawab seluruh pertanyaan dengan baik. Ia pun dipermaklumkan oleh Anregurutta Asad sebagai asisten karena ilmunya dianggap setaraf dengan sang guru.

Mulanya, Ambo Dalle tidak percaya dengan pengakuan gurutta itu. Tetapi, karena hal itu keluar dari lubuk hati Anregurutta, spontan Ambo Dalle menjabat dan mencium tangan Anregurutta Asad sebagai tanda penghormatan murid pada gurunya.

Mulanya saya sekelas dengan Gurutta, namun beliau sering naik kelas lebih cepat karena sangat cerdas, kata AG.H.M.Abduh Pabbajah, salah seorang teman seangkatannya di Sengkang.

Bersamaan dengan itu, Arung Matowa Wajo dan Arung Lili (Arung EnnengE) menemui Anregurutta Asad dan menyarankan agar pengajian dengan sistem halaqah (mengaji tudang) yang sudah berkembang ditingkatkan dengan membuka madrasah atau sekolah, disamping tetap mempertahankan sistem lama. Pemerintah kerajaan bersedia membantu dengan menyiapkan fasilitas yang dibutuhkan.

Usul diatas diterima dengan baik oleh Anregurutta. Pada tahun 1930 dibukalah madrasah dengan tingkatan awaliyah, ibtidaiyah, i’dadiyah, dan tsanawiyah.

Madrasah yang kemudian bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) diberi lambang yang diciptakan sendiri oleh Ambo Dalle atas persetujuan Anregurutta Asad dan ulama lainnya.

Bukan hanya itu, ia pun ditunjuk sebagai pimpinan perguruan yang baru didirikan itu. Sementara Anregurutta Asad tidak melepaskan diri begitu saja. Beliau pun turut pula mengajar sambil meneruskan pengajian sistem halaqah seperti semula.

Dalam pada itu, Ambo Dalle memasuki babak baru dalam kehidupannya sebagai manusia. Tahun 1930 ia memasuki kehidupan rumah tangga dengan mengawini Andi Tenri. Namun, karena tidak membuahkan keturunan, bahtera rumah tangga mereka tidak berlangsung lama.

Ia lalu kawin dengan Puang Sohrah, yang tak lama kemudian diceraikannya juga. Selanjutnya, Ambo Dalle menikah dengan Andi Selo yang masih ada hubungan dengan Anregurutta Asad. Dari mereka Ambo Dalle tidak memperoleh seorang keturunan pun.

Tahun 1935, Ambo Dalle untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji. Di tanah suci ini ia menetap selama sembilan bulan untuk memperdalam ilmu agama yang pernah dipelajarinya di Wajo.

Pada salah seorang Syekh tempatnya belajar, Syekh Ahmad Sanusi, ia memperoleh sebuah kitab, Khazinatul Asraril Qubra.

Menurut penuturan gurunya, dalam kitab itu ia dapat membaca dan mempelajari apa saja yang ingin diketahuinya tentang hal-hal gaib. Dari kitab tersebut ia mengenal rahasia Waliyullah di zaman dahulu. Beliau lalu mengamalkan ilmu yang didapatnya itu.

Ketika kembali ke Sengkang, pesantren yang dibinanya itu semakin populer. Sejak saat itu ia dipanggil Gurutta oleh para santri, yang artinya guru kita.

Santri-santrinya berdatangan dari berbagai penjuru. Diantaranya ada yang berasal dari Soppeng Riaja, sebuah kerajaan subur dan makmur yang berada di pesisir barat Sulawesi Selatan.