Ketika DDI Meng-Indonesia

0
321

AG. Drs. H. Helmy al-Yafie

Salah satu hal yang sangat menonjol dari Gurutta Ambo Dalle, yang membuat bisa disebut fenomenal, adalah dia membangun gerakan pendidikan dan dakwah, yang berbasis pada apa dikenal sebagai sistem pendidikan yang menyerupai pendidikan pesantren sekarang.

Fenomenal karena sebelumnya tidak ada gerakan semacam itu, bukan hanya di Sulawesi Selatan tetapi mungkin juga di Indonesia.

Gerakan yang dimulai di Mangkoso memalui MAI Mangkoso, tahun 1938, yang mendapat dukungan tanpa batas dari Raja Mangkoso.

Gerakan yang menjadi jawaban atas kelangkaan pendidikan akibat penjajahan dan gerakan keagamaan yang tidak toleran kepada perbedaan yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat.

Gerakan yang bertumpu dan berpegang kepada nilai-nilai, ajaran dan pandangan keagamaan ahlussunnah wal jama’ah.

Gerakan tersebut kemudian, dengan dukungan ulama dan tokoh agama di Sulawesi Selatan, menjadi atau diberi payung yang bernama DDI, tahun 1947, agar lebih massif dan sistemis.

Gurutta Ambo Dalle merintis dan membangun gerakannya pada masa penjajahan (Belanda dan Jepang) yang diskriminatif (dalam segala bidang) dan mengabaikan pendidikan masyarakat.

Dan ketika diproklamasikan sebagai DDI, menghadapi situasi yang lebih mencekam, karena Sulawesi Selatan berada dalam pemberlakukan keadaan darurat militer yang sangat kejam.

Masa ketika Westerling mengganas di Sulawesi Selatan, melakukan pembantaian besar-besaran terhadap rakyat.

Dengan gerakan yang dipimpinnya itu, Gurutta sesungguhnya telah mengambil bagian sangat penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi cita-cita republik Indonesia, ketika diproklamirkan.

Ada satu masa DDI terlihat berjalan dengan irama harmonis.

Improvisasi yang ada di dalamnya sama sekali tidak terlihat mengganggu jalannya organisasi.

Kondisi seperti itu terlihat mulai masa berdirinya sampai dengan masa awal Pemerintahan Orde Baru.

Ada masa, DDI tidak dipimpin oleh Gurutta, yakni ketika diculik oleh DI/TII, Kahar Muzakar.

Meskipun menimbulkan shock, tetapi karena kesolidan generasi pertama itu, tidak mengganggu jalan organisasi, bahkan berkembang.

Secara keseluruhan, mulai dari diproklamirkannya, sampai kepada Gurutta memimpin kembali DDI, bisa disebut sebagai masa kejayaan DDI sebagai sebuah gerakan pendidikan.

Pada masa-masa itu, DDI tampil dengan karakternya yang khas, sebagai gerakan pendidikan dan da’wah, yang bertumpu pada sebuah sistem pendidikan yang sekarang disebut pendidikan pesantren, dan tumbuh di berbagai daerah melampaui batas-batas wilayah propinsi.

DDI bisa dikatakan meng-Indonesia.

Kebesaran DDI pada masa itu mungkin hanya bisa diatasi oleh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Salah satu yang tampak menonjol pada masa-masa awal periode ini adalah hampir setiap tahun DDI menyelenggarakan Muktamar.

Mungkin juga itu dipengaruhi situasi sosial keagamaan masa itu, dimana benturan kepentingan antara kelompok tradisional, yang diwakili DDI, dengan gerakan puritanisme, sangat terasa, mengancam harmoni dalam masyarakat.

Setelah pertemuan Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Watansoppeng, 1947 yang menghasilkan satu organisasi yang disebut Darud Da’wah wal Irsyad, disingkat DDI, untuk mendukung dan memayungi gerakan pendidikan yang telah dirintis oleh Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle.

Setahun kemudian, 1948, organisasi muda itu menyelenggarakan Muktamarnya yang pertama, di Pare-Pare.

Muktamar itu bisa dikatakan menggantikan posisi dan peran pertemuan rutin guru-guru dan pengurus MAI dan sekolah-sekolah yang dibina Gurutta Ambo Dalle selama periode Mangkoso.

Isu-isu Muktamar, berkisar pada pengintegrasian sekolah-sekolah dan pengurus sekolah binaan Gurutta, penertiban administrasi, serta pengukuhan pengurus dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Tidak ada perubahan mendasar, kecuali adanya pergeseran posisi dalam struktur organisasi, yakni Gurutta M. Ali Yafie menjadi Sekretaris umum, menggantikan posisi Gurutta M. Abduh Pabbaja yang di geser ke posisi salah satu Kepala Bidang (Bidang Fatwa).

Sejak dari awalnya DDI sudah dirancang untuk berkedudukan di Pare-Pare.

Kota ini, pada masa itu adalah kota kedua sesudah Makasar untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Mempunyai posisi strategis, dengan penduduk yang heterogen (hampir seluruh anak suku, terutama bugis, mandar dan toraja, dengan tradisinya masing-masing ada di Pare-Pare), yang menguntungkan bagi perkembangan DDI kelak.

Pada masa itu Pare-Pare (sekarang kotamadya Pare-Pare) adalah kota perdagangan, merupakan daerah transit, yang menghubungkan berbagai kota, terutama di pantai barat Sulawesi.

Pare-Pare mempunyai pelabuhan (laut lepas) dengan kapasitas hanya di bawah pelabuhan makasar, yang bisa menampung kapal-kapal besar, bisa disebut pintu gerbang (dari laut) untuk masuk ke daerah-daerah di Sulawesi Selatan bagian utara.

Sebelumnya Gurutta Ambo Dalle sudah diminta oleh Raja Mallusetasi, La Calo Andi Cambolang (Raja terakhir Kerajaan Mallusetasi), menjadi Qadli Mallusetasi.

Wilayah Kerjaan Mallusetasi pada masa itu adalah Kota Pare-Pare (Bojo, Bacukiki dan Soreang).

Mallusetasi, Nepo dan Palanro yang kini masuk wilayah Kabupaten Barru.

Mallusetasi sekarang ada sebuah Kecamatan dalam wilayah Kabupaten Barru.

Tawaran itu, dengan persetujuan Raja Soppeng Riaja, diterima oleh Gurutta Ambo Dalle.

Raja Soppeng Riaja menyetujui permintaan itu, mungkin karena jarak antara Pare-Pare dan Mangkoso tidak begitu jauh, hanya sekitar 35 Km; memungkinkan Gurutta (yang waktu itu masih tinggal di Mangkoso) pulang-pergi tanpa banyak kesulitan.

Tetapi pertimbangan yang lebih mendasar tampaknya adalah bahwa Qadli pada masa itu adalah posisi yang strategis, sangat menguntungkan bagi perkembangan DDI.

Kedudukan Qadli di masa kerajaan-kerajaan di Sulawesi sangat tinggi, hanya Raja yang ada di atasnya.

Tapi dalam urusan agama, jabatan Qadli adalah yang tertinggi dalam sebuah wilayah kerajaan.

Mungkin karena itu, jabatan Qadli kebanyakan dipegang oleh kerabat terdekat raja.

Tentu yang memiliki keahlian dan kedalaman dalam ilmu agama, terutama Fiqh.

Gurutta Ambo Dalle, meskipun sudah menjadi Qadli Mallusetasi, masih tinggal di Mangkoso.

Setiap hari dia mondar-mandir Pare-Pare-Mangkoso, dengan (dibonceng) Sepeda.

DDI sendiri sudah berkantor di Pare-Pare.

DDI, tampaknya karena posisi Gurutta sebagai Qadli, memperoleh kantor yang representatif (untuk zamannya), berlokasi di pusat kota, dekat Mesjid Jamik Pare-Pare (sekarang).

Letaknya di sebelah selatan Mesjid Raya Pare-Pare (sekarang).

Kantor itu kemudian dipindahkan ke Ujung Baru, setelah bangun kantor Baru, bangunan sekolah, dan rumah untuk Gurutta selesai dibangun, di daerah itu, di atas tanah yang memang disiapkan untuk kepentingan itu.

Rumah kediaman Gurutta, terletak persis dibelakang bangunan sekolah dan kantor DDI.

Pada tahun 1949, DDI menyelenggarakan Muktamarnya yang kedua di Pare-Pare, dan, tahun 1950, Muktamar ke tiga di Makasar.

Tidak ada perubahan mendasar, kecuali bahwa Pare-Pare semakin mengukuhkan diri sebagai pusat DDI.

Berturut-turut DDI menyelenggarakan Muktamar ke empat, tahun 1952, dan Muktamar ke lima, 1953, di Pare-Pare.

DDI menyelenggarakan Muktamar setiap tahun, mungkin tampak aneh sekarang (seolah-olah waktu habis hanya untuk Muktamar), tetapi bagi DDI itu bukanlah hal yang aneh.

Sebab itu adalah tradisi yang sudah ada sejak MAI Mangkoso, yakni pertemuan yang melibat guru-guru dari seluruh daerah dimana ada sekolah DDI untuk mengatur perputaran penugasan guru-guru disekolah-sekolah tersebut; disamping melakukan evaluasi.

Muktamar tahunan itu sama sekali tidak mengganggu, bahkan membuatnya lebih efektif, jalan dan laju perkembangan organisasi.

Pada masa-masa itu juga Gurutta resmi pindah ke Pare-Pare, setelah rumahnya yang disiapkan untuknya selesai dibangun, pada saat yang hampir bersamaan dengan rampungnya pembangunan sekolah yang didirikan memang untuk DDI, di Ujung Baru, Pare-Pare.

Setelah pindah ke Pare-Pare Gurutta menyerahkan kepemimpinan Pesantren DDI Mangkoso kepada Gurutta Amberi Said, dan DDI Mangkoso, diberikan status (cabang) otonom.

Gurutta Amberi Said, adalah salah seorang murid Gurutta, yang selalu mendampinginya, bahkan dipercaya untuk menggantikan jika tidak ada ditempat, mengatur persoalan-persoalan internal Pesantren selama masa MAI Mangkoso.

Pada saat itu juga Gurutta Amberi Said diangkat menjadi Imam Masjid Raya Mangkoso.

Pada saat itu, pelan-pelan pesantren DDI di Pare-Pare tumbuh menjadi pilar gerakan pendidikan DDI, mulai memproduksi guru-guru, berdampingan dengan Mangkoso sebagai wadah menggodok guru-guru yang dikirim ke daerah-daerah untuk memperkuat pendidikan di daerah, atau melayani permintaan daerah-daerah yang minta didukung dengan dikirimi guru atau tenaga untuk membangun sekolah di sana.

Semua itu dikelola dan diatur oleh apa yang disebut Dewan Perguruan.

Dewan Perguruan ini juga mengatur pengangkatan dan penyusunan kurikulum sekolah dan madrasah.

Badan-badan otonom itu bergerak aktif mendinamisir komunitasnya masing-masing, dalam rangka perbaikan kualitas kehidupan dan pandangan keagamaan mereka.

Badan-badan otonom bagian dari upaya DDI untuk mengimbangi kelompok-kelompok keagamaan yang tidak toleran terhadap perbedaan, yang masa itu sangat agresif.

Perkembangan lain adalah DDI ketika sudah dilengkapi dengan Badan-badan otonom dan lembaga, seperti:

a) Fitiyatud Da’wh wal Irsyad (FiDI) yang bergerak dalam bidang Kepemudaan dan Kepanduan;

b) Fatayanud Da’wah wal Irsyad (FaDI) yang bergerak dengan dan menggorganisir perempuan muda;

c) Ummahatud Da’wah wal Irsyad (UMMAHAT), yang bergerak dan mengorganisir Perempuan dan Ibu-Ibu.

Beberapa tokoh perempuan DDI seperti Hj. Andi Bunayya dan Andi Syuhada muncul pada periode ini.