Ponpes DDI Manahilil ‘Ulum Kaballangang Pinrang

0
232
Pandangan keagamaan dan kebangsaan DDI

Sejak peristiwa 1977, dimana Pesantren DDI Parepare, Pesantren As’adiyah Sengkang dan Pesantren Hadis Bone sedikit goyang karena pimpinan ke tiga Pesantren ini sepakat menerima
Golkar sebagai kendaraan politiknya.

Maka Anre Gurutta berusaha untuk memisahkan santri lelaki dan perempuan.

Beliau melihat perlunya Pesantren DDI Parepare membenahi diri dan
meluaskan wawasan kebangsaan dan Ke-DDI-an sehingga tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh suasana politik dan sosial yang berkembang.

Masalah-masalah akhlak dan
sosial lebih mudah dikendalikan apapila tiada ikhtilat/percampuran antara lelaki dan perempuan.

Terutama lokasi Ujung Lare yang sudah tidak mencukupi pemukiman santri lelaki
bersama perempuan.

Efek dari gejolak politik waktu itu menyebabkan sahabat Gurutta dan pembantunya di bidang organisasi sudah tidak kompak lagi mendukung inisiatif Anre Gurutta menerima Golkar.

Walaupun hanya pribadinya bukan DDInya yang di Golkarkan, tapi masyarakat DDI melihat berbeda, jika Anre Gurutta bersama Pemerintah waktu itu.

Mereka tidak faham bahwa antara ciri khas manhaj Ahli Sunnah Waljama’ah ialah selalu bersama pemerintah yang sah sekalipun ada kelemahannya.

Yang penting mereka tidak memusuhi umat Islam dan tidak memerintahkan pada hal-hal yang membawa kepada dosa dan kedurhakaan.

Prinsip ini yang dipegang oleh Anre Guruta bersama ulama besar yang lain dari As’adiyah dan Bone termasuk AGH Daud Ismail Soppeng dan AGH Abd Muin Yusuf Sidrap.

Desakan masyarakat Pinrang melalui Bupatinya Petta Tonang dan Ketua DPRDnya Puang Milu waktu itu termasuk tokoh masyarakatnya, Petta Baso Massepe dan Pettana Itungku, mereka memohon kepada Anre Gurutta agar pindah ke Pinrang membangun
pesantren baru yang bisa dikembangkan menjadi pusat DDI yang lebih luas.

Tentu Anre Gurutta merasa berat untuk menolak, karena Petta Tonang dan Puang Milu adalah orang yang
pernah memfasilitasinya bebas dari kungkungan DI/TII di hutan.

Gurutta sekeluarga bebas keluar kota kembali ke Parepare dengan selamat berkat perlindungan kedua orang ini.

Padahal Gurutta waktu ini hampir juga dibawa oleh keluarga Donggo pindah ke Samarinda.

Ahmad Bahtar keluarganya dan pengurus DDI Kaltim selalu menghubunginya.

Akhir tahun 1979 Anre Gurutta bersama beberapa orang muridnya yang bersedia pindah ke Desa Kaballangang.

Puang Milu menyerahkan tanah waqaf untuk pembangunan pesantren yang sangat luas hampir seratus hektar.

Dan Pesantren DDI Ujung Lare yang baru ditinggal diserahkan kepada AGH Yusuf Hamzah dan AGH Abu Bakar Zainal.

Pada waktu itulah diisytiharkan (diperkenalkan) DDI Ujung Lare sebagai Pesantren DDI Lil Banat (khusus santri perempuan) dan Kaballangang khusus santri lelaki yang diberi nama Pesantren DDI Manahilil Ulum Lilbanin Kaballangan Pinrang.

Fakultas Usuluddin UI DDI Addariyah kekal di Parepare karena di Pinrang juga sedang dikembangkan Fakultas Tarbiyah UI DDI Adariyah.

AGH Abd Rahim Arsyad, AGH Yunus Samad dan AGH Lukmanul Hakim termasuk yang terawal sebagai tenaga pengajar yang baru pulang dari Cairo Mesir.

Guru guru senior yang sudah lama bersama Gurutta dari Parepare seperti AGH Jamaluddin, Gurutta H Haruna, Gurutta Sulaiman Parajai dan lainya membuat pesantren ini cepat berkembang.

Tidak terlalu lama pesantren ini terus berkembang dan menjadi pesantren yang dikagumi oleh masyarakat dan pemerintah di seluruh penjuru tanah air.

Walaupun Anre Gurutta sudah sangat sepuh ketika itu tetapi tetap semangat memberi bimbingan kepada santrinya termasuk kepada guru-gurunya.

Hasrat Anre Gurutta membangun Pesantren ini terlihat unik dengan pemberian nama khusus yang tidak pernah terjadi dalam pembinaan pesantren DDI Mangkoso dan Parepare.

Di Pinrang inilah Anre Gurutta menamakan pesantrennya:

“Manahilil ‘Ulum”

artinya: penapis ilmu pengetahuan (patandana paddisengenge).

Sudah tentu nama ini mencerminkan makna yang sangat dalam dan mulia yang dihasratkan oleh Anre Gurutta.

Saya rasa Gurutta ingin menjadikan DDI sebagai lembaga dakwah dan pendidikan yang bisa menjadi penapis dan pemelihara ilmu-ilmu murni yang diwarisi dari Rasulullah melalui ulama salaf saleh, yang disepakati oleh ulama salaf dan khalaf dengan istilah atau nama Ahlu Sunnah Waljama’ah.

DDI adalah benteng Ahlu Sunnah Waljama’ah.

Pendidikan dan dakwahnya berpaksi kepada;

wasatiyatul ummah, wasatiyatul islam dan wasatiyat tadayyun.

Warga DDI dari sudut ilmu dan amal Islaminya berpandukan kepada konsep wasatiyah Ahlu Sunnah Waljama’ah.

Ilmu-ilmu agama yang dikembangakan di DDI mestilah ilmu yang bersanad dan memiliki syajaratul Ilmi yang jelas dan murni dari ulama yang memiliki otoritas keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

Mesjid DDI Kaballangang ditandai dengan nama “al-Wasilah” sebagai simbol kesempurnaan ibadah dan muamalah yang menuntun Ridha Allah dan Rasulullah sebagai kunci kemenangan dalam mengarungi kehidupan duniawi dan ukhrawi.

Al-Quran dan Sunnah adalah “sulo mattapa” yang menyinari DDI dalam berwasilah menelusuri jalan yang diredhai oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Anre Gurutta juga mewariskan beberapa buku yang berbahasa Arab dan Bugis yang merupakan rujukan asas pembelajaran Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah.

Ada “Maziyatu Ahli Sunnah Waljama’ah” yang membicarakan nilai-nilai ilmu dan keistimewaan Ahli Sunnah Wal Jama’ah.

Di samping mengetengahkan firqah atau ajaran ajaran yang menyimpang yang tidak sesuai dengan nilai dan konsep umum Ahli Sunnah Wal-Jama’ah.

Ada “Rabbij’alni Muqima Salah”, satu uraian praktis tentang perkara sembahyang mengikut Quran dan Sunnah dalam rumusan mazhab Imam Syafi’ie.

Ada beberapa kitab tauhid mini yang berisikan asas aqidah Ahli Sunnah wal-Jama’ah mengikut qaedah dan pendekatan Imam Abu Hasan Asy’arie.

Dan ada kitab tazkiyah dan tasawwuf yang diberi judul “al-Qaulu Sadiq Fi Ma’rifatil Khaliq”.

Kitab ini membahas khusus tentang zikrullah (mengingat Allah) dengan panduan dan manhaj Imam Junaid al-Baghdadie.

Dan banyak lagi buku-buku rujukan yang simple tapi padat yang dibukukan oleh Anre Gurutta untuk tujuan ilmu yang diajar di Darud Da’wah Wal-Irsyad.

Di Kaballangang sendiri, Anre Gurutta masih sempat menulis kitab hadits mirip kitab Hadits 40 warisan Imam Nawawie.

Beliau menamakan kitabnya “al-Nukhbah al-Mardhiyyah” kumpulan beberapa hadits sahih yang berkaitan dengan akhlaq dan muamalah masyarakat kontemporer.

Dan buku “Ad’iyah Mabrurah” kumpulan doa-doa yang banyak diminta oleh masyarakat terutama warga DDI kepada beliau.

Di pesantren inilah Anre Gurutta menghabiskan kesempatan hidup yang diberikan oleh Tuhannya.

Hampir dua puluh tahunan Anre Gurutta membangun dan memajukan pesantren ini.

Beliau wafat tahun 1996 dan dimakamkan di depan Mesjid Dakwah Pesantren DDI Mangkoso.

Pesantren pertama beliau bangun dengan keikhlasan.

Isteri beliau Puang H Marhawa yang meninggal sebelumnya dimakamkan di Pesantren DDI Ujung Lare Parepare bersama kedua putranya; Puang Rusdi dan Puang Halim.

Pesantren DDI Manahilil ‘Ulum Kaballangang sekarang diasuh dan dipimpin langsung oleh putra bungsu Angre Gurutta yang merupakan permata satu-satunya yang masih hidup, yaitu AGH Muhammad Rasyid Ridha, S.Ag, MPd.

Demikian maklumat yang kami persembahkan untuk menjadi tatapan warga DDI bagi mengenali Anre Gurutta dan pesantrennya yang merupakan warisan yang sangat mulia dan bernilai tinggi untuk kita jaga dan kembangkan agar ikut bersama Anre Gurutta dapat andil dan amal jariah yang dikongsi bersama seluruh ulama dan warga DDI.

Kami mohon kepada seluruh alumni dan warga DDI agar senantiasa mendoakan Anre Gurutta dan seluruh ulama dan tokoh DDI yang telah mendahului kita.

Dan jangan lupa DDI adalah warisan mulia Anre Gurutta untuk kita lestarikan dan jadikan sebagai amal jariah dalam meneruskan perjuangan beliau.

Ingat: DDI adalah Gurutta dan Gurutta adalah DDI.

Wabillahi Tawfiq wa Da’wah wal-Irsyad