Karakter Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

0
217

Hadis Iftiraq.

ا) عن أوفى بن مالك، “افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ” (رواه ابن ماجه(.

Artinya:

“Yahudi terpecah dalam 71 firqah, satu di surga dan 70 di neraka.

Nasrani terpecah dalam 72 firqah, 71 di neraka dan satu di surga.

Demi Zat Yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sungguh umatku akan terpecah dalam 73 firqah, satu di surga dan 72 di neraka.”

Dikatakan, “Ya Rasulullah, siapa mereka?” Beliau bersabda, “al-Jama’ah” (HR Ibnu Majah).

ب) عن أنس بن مالك، “تَفْتَرِقُ هَذِهِ اْلأُمَّةُ عَلَى ثَلاَثِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهُمْ فِيْ النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَا هِيَ تِلْكَ الْفِرْقَةَ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ اَلْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ” (رواه الطبراني(.

Artinya:

“Umat ini akan terpecah menjadi 73 firqah, semuanya di neraka kecuali satu.”

Mereka berkata, “apa firqah itu”?

Beliau menjawab, “yang berpegang teguh pada apa yang ada padaku dan sahabatku hari ini” (HR al-Thabraniy).

Dengan ini, maka semua yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah (sunnah Rasul dan sunnah sahabat Rasul), maka itulah Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah.

Adapun yang dimaksud “al-jama’ah” pada hadis di atas adalah para sahabat Nabi Saw.

Dengan ini, maka aliran yang mengecam, mengutuk, dan mencaci sahabat Rasulullah Saw. dipahami bukanlah Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah.

Syi’ah adalah aliran yang mendikotomi sahabat dalam 2 kategori, yakni:

a) Ahlu al-Bait (keluarga Rasulullah Saw.) b) Selain Ahlu al-Bait.

Kategori yang pertama itulah yang dipuja-puji secara berlebihan.

Semua sahabat Nabi Saw. yang membaiat khalifah selain Ali bin Aby Thalib dari al-Khulafa’ al-Rasyidun dilaknat oleh aliran tersebut dan bahkan khalifah yang empat selain Ali bin Aby Thalib semuanya dicaci-maki secara berlebihan.

Dengan ini, mereka hanya berpegang pada kelompok minoritas dari sahabat, meninggalkan kelompok mayoritas sehingga dinyatakan keluar dari batasan Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah.

Kaum Muslimin yang mengklaim diri mereka selaku Ahlus-Sunnah, secara faktual terdikotomi dalam 3 kelompok:

1) Liberal.

2) Netral, dan

3) Fundamental.

Kelompok liberal (ekstrim kiri), karakter pemahamannya terhadap Islam terkesan sekuler.

Kelompok netral, karakter pemahamannya terhadap Islam terkesan moderat, memahami Islam sebagaimana mestinya, steril dari virus-virus Liberalisme dan Fundamentalisme.

Kelompok fundamental (ekstrim kanan), karakter pemahamannya terhadap Islam terkesan ketat, di antaranya:

a) Tidak menerima hadis dha’if (hadis lemah) sebagai hujjah (pijakan hukum).

b) Keindahan hadis ditetapkan berdasar pada tahqiq (penelitian) kelompoknya dan cenderung mengabaikan tahqiq kelompok yang lain di luar kelompoknya.

c) Sunnah yang dipahami lebih pada sunnah fi’liyyah (praktik nabi dan sahabat).

d) Corak pemahaman mereka lebih pada makna tekstual (memahami dalil secara literal) cenderung mengabaikan pemaknaan kontekstual, seperti larangan meletakkan gambar/foto makhluk yang bernyawa dalam rumah.

Itu dipahami sebagaimana teks hadis tersebut tanpa mempertimbangkan kondisi temporal umat saat hadis itu disampaikan.

e) Mengklaim kebenaran hanya dari kelompoknya sehingga terkesan eksklusif terhadap pendapat di luar kelompoknya.

Beberapa ungkapan bijak yang patut dijadikan bahan renungan:

1) Ucapan Imam Malik di atas kuburannya Rasulullah Saw.,

” كل يُؤخذ من كلامه ويُرد إلا صاحب هذا القبر ”

Artinya:

“Semua (orang) bisa saja diambil (diterima) ucapannya dan boleh juga ditolak kecuali pemilik kubur ini.”

2) Ucapan Imam al-Syafi’iy,

” رأيي صواب يحتمل خطأ ورأي غيري خطأ يحتمل صواب”

Artinya:

“Pendapatku benar, ada kemungkinannya salah dan pendapat selainku salah, ada kemungkinannya benar.”

Hadis dha’if, ada 3 kelompok cara menyikapinya:

a) Menerima mutlak.

b) Menolak mutlaq.

c) Menerima bersyarat:

Kelompok moderat (wasathiyah), karakternya yang menonjol adalah:

1) Menerima hadis dhaif secara bersyarat.

2) Menerima ke-3 jenis sunnah (qauliyyah, fi’liyyah, dan taqririyah).

Adapun syarat yang ditetapkan oleh mayoritas ulama hadis (muhadditsun) dan ulama fiqh (fuqaha’) menurut yang dikutip oleh Imam al-Nawawy, adalah:

a) Hadisnya terkait pada fadha’il al-a’mal, targhib (motivasi pada kebaikan), dan tarhib (ancaman terhadap larangan).

b) Bukan hadis maudhu’ (palsu).

c) Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.

d) Sejalan dengan “kaidah kulliyah” (kaidah umum) atau kaidah dasar syari’at seperti mendatangkan maslahah dan menolak madharat.

Hadis tentang fadha’il-a’mal yang bersyarat sebaiknya diamalkan walau sekali saja supaya bisa didapapatkan fadhilanya, tidak pantas ditinggalkan sama sekali. Ini berdadsarkan hadis berikut:

“… وإذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا منه ما اسْتَطَعْتُمْ” (متفق عليه وللفظ للبخاري: 7288(.

Artinya:

“… Bila aku perintahkan kalian pada sesuatu, maka penuhilah sesuai kesanggupan kalian” (Muttafaq ‘alaih, lafal dari al-Bukhary: 7288).

Disimak dan dipenakan oleh Ust. H. Muh. Aydi Syam.