Prinsip Hidup dan Kepribadian AG. H. Abdurrahman Ambo Dalle

0
696

Ahmad Rasyid Amberi Said, M.Pd.

Mudahkanlah urusan orang lain denganmu jika kamu ingin Allah SWT memudahkan urusanmu, demikian Gurutta sering berpesan kepada santri-santrinya.

Pesan itu sekaligus menyiratkan salah satu prinsip hidup beliau dalam melayani umat, baik pejabat, masyarakat biasa, maupun santri.

Selain itu, modal utama Gurutta dalam membangun DDI adalah keikhlasan, pengorbanan, dan pengabdian tanpa pamrih.

Sifat-sifat itulah yang selalu diteladankan Gurutta kepada santri-santrinya.

Dalam mengurus DDI, Gurutta menekankan bahwa ketiga sifat itulah yang bisa membuat DDI tetap eksis.

Bahkan, untuk memelihara niat ikhlas santri-santrinya, Gurutta tidak mengizinkan santri untuk mengikuti ujian negara karena kuatir kalau niat santri menuntut ilmu hanya karena mengharapkan selembar ijazah.

Selain karena didikan agama, Gurutta lahir, tumbuh dan besar dalam setting budaya dan tempaan kultur Bugis Wajo yang kaya akan petuah-petuah lontara. Kedua faktor itu dominan dalam membentuk sifat dan kepribadian Gurutta.

Dalam perspektif budaya, Gurutta telah sempurna memiliki nilai-nilai utama budaya leluhurnya itu (sulapa eppa).

Menurut Prof.Dr.H.A.Rahman Rahim, setidaknya ada enam nilai utama yang harus dimiliki seseorang, yaitu Lempu, Acca, Assitinajang, Getteng, Reso, dan Siri (Rahim, 1995: 144).

Dalam perkataan Bugis, jujur disebut lempu. Menurut arti logatnya, lempu sama dengan lurus sebagai lawan dari bengkok.

Dalam berbagai konteks, adakalanya kata ini berarti juga ikhlas, benar, baik, dan adil sehingga kata-kata lawannya adalah culas, curang, dusta, khianat, seleweng, buruk, tipu, aniaya, dan semacamnya.

Mereka yang pernah bergaul atau tinggal bersama dengan Gurutta, mengakui bahwa tidak pernah sekali pun mendengar ada perkataan Gurutta yang dusta atau melakukan sesuatu yang bertentangan antara kata dan perbuatan, taro ada taro gau.

Ungkapan-ungkapan lontara sering meletakkan berpasangan nilai kecendekiaan dengan nilai kejujuran karena keduanya saling mengisi.

Acca menurut lontara bukan sekadar pintar atau pandai, tetapi cendekia, intelek, dan arif.

Lontara mencatat sejumlah toacca, seperti Tociung ri Luwu, Kajaolalido, La Pagala Nene Mallomo, La Waniaga Arung Bila, Amanna Gappa, dan sebagainya.

Mereka adalah cendekiawan, intelektual, ahli pikir, atau ahli hikmah di zamannya. Kalau nama-nama tersebut dilanjutkan ke abad sekarang, tentu Gurutta layak ditulis sebagai salah satu diantaranya.

Kepatutan, kepantasan, kelayakan, adalah terjemahan dari kata Bugis assitinajang.

Lontara mengatakan, Potudangngi tudammu, puonroi onromu.

Artinya, duduki kedudukanmu, tempati tempatmu.

Seseorang yang tahu diri, mengerti assitinajang tidak akan menduduki suatu jabatan kalau merasa ia tidak pantas untuk jabatan itu, meskipun diserahkan kepadanya.

Itulah sebabnya, Puang Rimaggalatung (1498 1528) pernah berkali-kali menolak tawaran Adat dan rakyat Wajo untuk diangkat menjadi Arung Matowa Wajo, meski ia mampu untuk jabatan itu.

Gurutta meyakini bahwa tempatnya adalah menuntun umat melalui pendidikan dan dakwah. Karena itu, ia mengabdikan dan mewakafkan hampir seluruh hidupnya di dunia pendidikan.

Getteng jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti keteguhan.

Selain berarti teguh, kata ini pun berarti setia pada keyakinan, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang sesuatu.

Gurutta adalah orang yang lentur dan terbuka menerima perubahan. Beliau pun mampu berdialog dan beradaptasi dengan setiap zaman yang dilewatinya.

Namun, untuk hal-hal yang bersifat prinsipil, gurutta memiliki getteng. Ia ibarat ikan yang tidak menjadi asin meski berada di dalam lautan yang bergaram.

Gurutta telah membuktikan sikap itu sepanjang hidupnya. Misalnya, selama delapan tahun ia berada dalam kekuasaan DI/TII yang beraliran Wahabi dan cenderung tidak mengikuti salah satu mazhab. Namun, Gurutta tetap teguh dengan mazhab yang dianutnya, Syafii.

Reso atau usaha merupakan nilai kunci bagi pelaksanaan nilai-nilai kejujuran, kecendekiaan, kepatutan, dan keteguhan.

Semua nilai-nilai tersebut baru berdaya guna apabila didukung oleh nilai usaha. Lontara mencela orang yang tidak punya usaha, bermalas-malasan menghabiskan waktunya.

Islam mendorong umatnya untuk memiliki etos kerja dan produktif. Gurutta adalah seorang pekerja keras. Apa yang kita nikmati sekarang adalah buah reso dari Gurutta.

Mengenai hal ini, ada sepenggal kisah yang menarik.

Suatu ketika seorang bupati bersama isterinya bertamu ke rumah Gurutta. Ia bermaksud meminta doa agar ia terpilih kembali pada saat jabatannya berakhir.

Sang istri yang menyertai suaminya terheran-heran melihat perabot ruang tamu Gurutta yang terkesan mewah.

Setelah bupati tersebut menyampaikan maksudnya pada Gurutta, istrinya bertanya, Bapak Kyai kan tidak bekerja, kenapa bisa memiliki kekayaan semacam ini.

Dari mana semua ini Pak Kyai perolah? Apakah Pak Kyai punya doanya agar bisa kaya? Mohon berilah kami doanya, ucap istri bupati itu dengan nada sungguh-sungguh.

Lalu, Gurutta menjawab, Saya bekerja. Saya bekerja untuk Allah. Saya mengajar para santri. Saya memberikan khotbah dan fatwa di mana-mana. Saya juga terkadang menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk memberikan ceramah agama.

Jadi saya juga bekerja keras, dengan tekun dan ikhlas kepada Allah. Syaratnya, ya bertakwa kepada Allah.

Dalam berusaha, Gurutta sangat menekankan aspek niat dan kesungguhan karena menurutnya kedua hal itulah yang dipandang oleh Allah SWT.

Jika Gurutta melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan sungguh-sungguh. Sewaktu Gurutta membuka usaha percetakan di Pare-Pare, sepintas usaha tersebut tidak menjanjikan hasil yang lumayan.

Namun, Gurutta berpendapat bahwa kita tidak boleh memegang prinsip bahwa rezeki Allah hanya akan datang melalui usaha yang kita lakukan itu.

Kita tidak boleh menganggap remeh suatu usaha karena rezeki Allah bisa datang melalui seribu satu cara, selain melalui cara yang kita pilih.

Silaturrahim adalah salah satu cara memudahkan datangnya rezeki Allah SWT kepada kita.

Gurutta juga percaya bahwa umur bisa dipanjangkan dengan memperbaiki silaturrahmi (Khalid, 2005:23).

Siri mempunyai beberapa pengertian, diantaranya adalah malu dan harga diri.

Orang yang memiliki siri’ akan menjaga setiap tutur kata dan tingkah lakunya dari hal-hal yang tercela.

Lontara berpesan, Tellu riala sappo, taue ri dewata, sirie ri watakkaleta, sirie ri padatta tau.

Leluhur Bugis pun selalu berpesan, Siriemi ri onroang ri lino, hanya karena siriq-lah manusia hidup, tau degaga sirina tania tau, rupa taumi asenna, manusia yang tidak punya siriq bukanlah manusia, melainkan hanya bermuka manusia tapi derajatnya sama dengan binatang.

Gurutta terbukti mampu menjaga dan menegakkan sirinya. Karena itu, hampir tidak dijumpai kekurangan pada pribadi Gurutta.

Kalau pun mau dicari, satu-satunya kekurangan Gurutta adalah karena ia melihat semua orang sama baiknya seperti dirinya.

Karena itulah sehingga semua orang merasa senang bila berjumpa dengan Gurutta.