Karakter Khas Pola Didik AG.H. Ambo Dalle

0
209

Sepulang dari Musyawarah di Soppeng tahun 1947, perguruan MAI yang dipimpin AG. H. Ambo Dalle diintegrasikan dengan organisasi baru itu (DDI).

Sejak itu, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berganti nama menjadi DDI, sekaligus Mangkoso dijadikan pusat organisasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, DDI membuka cabang-cabang di berbagai daerah.

Pembukaan cabang tersebut pada umumnya karena permintaan masyarakat setempat didukung oleh pemerintah yang menginginkan di daerahnya ada sekolah DDI.

Hal ini menyebabkan permintaan tenaga pengajar mengalir dari berbagai daerah.

Untuk melayani mereka, Gurutta mengambil kebijaksanaan. Santri yang duduk di tingkatan tertinggi ditugaskan keluar untuk mengajar dalam jangka waktu tertentu.

Setelah tugasnya selesai mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajaran dan diganti oleh santri lainnya.

Sementara itu pada tahun 1949, istri terakhirnya, Hj. Marhawa yang populer dengan panggilan Puang Hawa melahirkan putra kedua, Muhammad Ali Rusdy.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, datang tawaran dari Pemerintah Swapraja Mallusetasi yang memintanya menjadi Qadhi di Pare-Pare.

Tawaran ini diterima baik oleh Gurutta. Sambil tetap memimpin pesantrennya di Mangkoso, ia menjalankan tugas baru sebagai Qadhi.

Hal itu menyebabkan Gurutta harus bolak-balik Mangkoso-Pare Pare dengan hanya dibonceng sepeda.

Saat itu, ia mulai menjajaki kemungkinan pusat organisasi dipindahkan ke Pare-Pare.

Dalam mengelola pendidikan dan menjalankan dakwah, Gurutta tidak sepenuhnya mengikuti cara AGH.M.Asad.

Ini menunjukkan bahwa Gurutta punya karakter sendiri. Ia tidak sekedar mereduplikasi apa yang diperoleh dari gurunya, AGH.M.Asad.

Dengan berbekal latar pendidikannya yang berbeda-beda, ia mampu merumuskan konsep pengembangan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Gurutta banyak melakukan pembaharuan, misalnya MAI Mangkoso adalah sekolah yang pertama menggunakan terjemahan bahasa Indonesia, padahal AGH.M.Asad tidak mau menggunakan bahasa Indonesia dan membaca khutbah harus menggunakan bahasa Arab.

Gurutta juga mengizinkan santri berolah raga badminton, meskipun dengan memakai sarung karena saat itu celana panjang belum dibolehkan.

Gurutta bersifat terbuka dan menerima tenaga dari organisasi lain (Muhammadiyah) untuk mengajar bidang studi tertentu.

Kebijakannya itu diteruskan oleh penggantinya, K.H.M.Amberi Said yang memasukkan beberapa pelajaran umum, seperti bahasa Inggris, Aljabar, Ilmu Alam, dan sebagainya.

Hubungan dengan organisasi Muhammadiyah tetap terjalin baik.

Apalagi, K.H.M.Amberi Said memiliki hubungan emosional dengan pendiri Muhammadiyah Takkalasi yang merupakan paman mertuanya.

Setelah merasa segala sesuatunya sudah siap, tahun 1950 Gurutta secara resmi memboyong keluarganya pindah ke Pare-Pare, setelah terlebih dahulu menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada seorang murid terdekatnya, Muhammad Amberi Said.

Dengan demikian, pusat organisasi pun turut dipindahkan, sedangkan Mangkoso diberinya status cabang otonom.