MAI Bergerak Menjadi DDI

0
193

Munculnya sekolah-sekolah sejenis MAI di daerah-daerah itu tampaknya memunculkan inspirasi Ulama di Sulawesi Selatan, dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, tentang sebuah gerakan pendidikan yang lebih efektif dan menyebar.

Gerakan yang dibutuhkan untuk merespon persoalan-persoalan kelangkaan pendidikan, akibat penjajahan di satu sisi, dan di lain sisi meningkatnya aktifitas gerakan kelompok keagamaan yang tidak memiliki toleransi kepada perbedaan, yang berpotensi menimbulkan konflik di antara masyarakat.

Potensi konflik semakin terasa mengancam karena masa itu adalah masa ketika penjajah Belanda, dengan membonceng Sekutu, berusaha masuk kembali untuk mencengkram kukunya di Indonesia, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945.

Belanda, yang membonceng Sekutu sebagai pemenang perang (atas Jepang), memberlakukan keadaan darurat perang, dan melakukan pengrusakan besar-besaran, yang memuncak sepanjang (akhir tahun) 1946 – (pertengahan tahun) 1947.

Pemberlakuan keadaan darurat militer oleh Belanda, memberikan keleluasaan kepada Westerling mengganas di Sulawesi Selatan, melakukan pembantaian besar-besaran terhadap rakyat.

Rakyat yang baru saja lepas dari cengkeraman penjajahan Jepang, menghadapi situasi yang lebih mencekam lagi.

Mereka dipaksa saling menyodorkan nama, agar bebas dari cap ekstremis, untuk dibantai oleh Westerling.

Remond Pierre Paul Westerling, biasa juga dipanggil ‘si Turki’, memimpin pasukan Depot Speciale Troepen (Depot Pasukan Khusus), melakukan pembantaian di hampir semua daerah di Sulawesi Selatan.

Selama operasi militer yang disebut counter insurgency (penumpasan pemberontakan), sepanjang Desember 1946-Maret 1947, yang menghilang nyawa puluhan ribu rakyat Sulawesi Selatan.

Korban Westerling di duga mencapai 40.000 jiwa orang.

Itu adalah masa yang mencekam dan paling kelam dalam sejarah di Sulawesi Selatan.

Dalam keadaan seperti itu para ulama bergeliat mencoba mencari jalan untuk membicarakan cara mengemban misi agama, untuk masa depan yang lebih baik.

Mereka kemudian sepakat untuk saling bertemu dan bermusyawarah.

Pertemuan diinisiasi oleh KH.M. Daud Ismail (Soppeng), KH. Abdurrahman Ambodalle (Mangkoso), Syekh Abdurrahman Firdaus (Pare-Pare), dan KH. M. Abduh Pabbaja (Allekkuang).

Untuk mempersiapkan kegiatan mereka membentuk panitia, yang disebut Panitia Maulid Nabi Besar Muhammad SAW., untuk mengelabui penguasa milter Belanda.

Panitia terdiri dari : KH. Daud Ismail (Penasehat), HM Amin Latif (Ketua), HM. Karim Ali (Sekretaris), HM. Amin Zein (Bendahara), dan KH Abdurrahman Ambodalle (anggota).

Para Ulama Sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan, yang dibungkus dengan atau membonceng perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW., untuk mengelabui penguasa militer Belanda.

Pertemuan itu diselenggarakan di Watan Soppeng, yang dipilih karena daerah itu sudah didatangi, sudah lepas dari pembantaian Westerling.

Acara itu terselenggara pada hari Jumat, 7 Februari 1947 (16 Rabi’ul Awwal 1366 H).

Selesai Acara Maulid, mereka menggelar musyawarah.

Peserta yang hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah :

1. Syekh Abdurrahman Firdaus (Pare-Pare),

2. KH.Abdurrahman Ambodalle (Mangkoso),

3. KH Daud Ismail (Qadli Soppeng),

4. KH Tahir (Qadli Balanipa Sinjai),

5. KH. M. Zainudin (Qadli Majene),

6. KH.M. Kittab (Qadli Soppeng Riaja),

7. KH.M. Jamaludin (Qadli Barru),

8. KH.M. Ma’mun (Qadli Tinambung),

9. H.A.M. Tahir Usman (Madrasah Al Hidayah Soppeng),

10. KH. M. Abduh Pabbaja (Allekkuang),

11. KH. Abdu Mu’in Yusuf (Qadli Sidenreng),

12. KH Baharudin Syatha (Qadli Suppa),

13. KH. Abdul Hafidz (Qadli Sawitto),

dan beberapa Ulama senior lainnya.

Banyak hal yang dibicarakan, tetapi terfokus pada pendidikan dan da’wah.

Para Ulama itu melihat bahwa pendekatan Gurutta Ambodalle, yang mengirim santri dan mendirikan sekolah di berbagai tempat, efektif untuk menghadapi masa depan yang lebih baik.

Singkat cerita mereka sepakat untuk sebuah gerakan pendidikan dan da’wah, yang didukung oleh usaha-usaha sosial.

Mereka juga sepakat bahwa untuk efektifnya gerakan itu perlu disupport oleh sebuah organisasi.

Maka dibentuklah sebuah organisasi untuk memayungi gerakan tersebut, dan mereka menyerahkan kepemimpinannya kepada Gurutta Ambodalle.

Karena memang organisasi ini terinspirasi dengan apa yang telah dilakukan oleh Gurutta Ambodalle.

Beberapa nama diusulkan untuk gerakan itu, antara lain yang diunggulkan adalah:

1) ‘Nashrul Haq’, (diusulkan oleh KH. Mohammad Abduh Pabbaja);

2) ‘al Urwatul Wusqa’, (diusulkan oleh HM. Tahir Usman), dan;

3) ‘Darud Da’wah wal Irsyad’, (diusulkan oleh Syekh Abdurrahman Firdaus).

Kemudian disepakati adalah ‘Darud Da’wah wal Irsyad’, disingkat DDI.

Nama yang diusulkan oleh Syekh Abdurrahman Firdaus, dan didukung oleh Gurutta Ambodalle.

Menurut Syekh Abdurrahman Firdaus, nama itu merupakan “tafaul” dalam rangka penyebaran misi da’wah dan pendidikan.

Darun artinya, rumah atau tempat atau pusat (penyiaran da’wah);

Da’wah sendiri adalah ajakan atau panggilan (untuk memasuki rumah itu);

Irsyad, artinya petunjuk (yang diperoleh melalui proses da’wah, di satu daerah, yang kemudian disusul dengan proses pendidikan).

Dengan demikian Darud Da’wah wal Irsyad adalah suatu gerakan atau organisasi yang berfungsi mengajak manusia ke jalan yang benar, menurut ajaran Islam, kearah kebaikan dan keselamatan (dunia dan akhirat).

Syekh Abdurrahman Firdaus adalah Ulama pengembara asal Makkah, yang kemudian tinggal menetap di Jampue, Pinrang, kemudian Pare-Pare, Sulawesi Selatan.

Syekh Abdurrahman Firdaus meninggalkan Makkah, karena gerakan kelompok Wahhabi.

Tampaknya Syekh Abdurrahman Firdaus, dengan memunculkan nama itu (DDI), terinspirasi oleh gerakan pendidikan Sayyid Rasyid Ridla.

Sayyid Rasyid Ridla (1865-1935) adalah ulama atau intelektual Islam asal Suriah, mengembang gerakan pendidikan yang memiliki nama mirip dengan DDI (yakni Ad-Da’wah wal-Irsyad).

Rasyid Ridla melihat negeri-negeri Islam terjajah Barat, karena mengabaikan pendidikan.

Selanjutnya, MAI Mangkoso dan beberapa MAI lainnya yang didirikan selama memimpin Mangkoso, diintegrasikan ke dalam DDI.

Gurutta Ambodalle tidak serta-merta mengintegrasikan Mangkoso dan sekolah-sekolah MAI binaan Mangkoso, tetapi melalui musyawarah dengan guru-guru; dan MAI-MAI itulah yang pertama-tama menjadi basis gerakan DDI.

Dengan kata lain, MAI-MAI itulah yang pertama-tama menjadi basis dari gerakan yang bernaung dibawah DDI.

Untuk mengukuhkan keberadaan organisasi dirumuskan sebuah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, yang ditangani oleh KH Muhammad Abduh Pabbaja.

Dibuat dalam Bahasa Arab. Untuk memudahkan, kemudian terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh KH M. Ali Yafie bersama KH Amin Nashir.

Pada awalnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga itu berbahasa Arab, kemudian di Indonesia oleh KH. Ali Yafie, agar lebih mudah difahami oleh anggota-anggota DDI.

Sejak lahirnya AD/ART tersebut, singkatan DDI juga resmi digunakan.

Musyawarah Ulama di Watan Soppeng itu, juga membantu merumuskan struktur organisasi dan menetapkan pengurus.

Untuk membantu Gurutta Ambodalle, ditetapkan Gurutta Pabbaja sebagai Sekretaris (waktu itu istilah yang digunakan adalah Penulis), dan HM. Madani, sebagai Bendahara.

Susunan lengkap Pengurus DDI yang pertama adalah:

Penasehat:

1) KH. M. As’ad Sengkang,

2) Syekh H. Abdurrahman Firdaus,

3) H. Zainudin (Jaksa Pare-Pare), dan

4) M. Aqib Macasai.

 

I. Ketua: KH. Abdurrahman Ambodalle;

Ketua Muda: KH. M. Daud Ismail;

II. Penulis Satu: KH M. Abduh Pabbaja;

Penulis Dua: K. M. Ali Yafie,

III. Bendahara: H. M. Madani.

 

IV. Pembantu-Pembantu terdiri dari:

1) KH. Abdul Mu’in (Qadli Sidenreng),

2) KH.M. Yunus Maratan,

3) KH.M. Abdul Kadir (Qadli Maros),

4) KH. M. Tahir (Qadli Balanipa Sinjai),

5) Syekh Ali Mathar,

6) KH. Abdul Hafid (Qadli Sawitto),

7) KH. Baharudin Syatha (Qadli Suppa),

8) KH. Kittab (Qadli Soppeng Riaja,

9) H. Muchadi (Pangkajene),

10) TNB (Pare-Pare).